Prolog
Tahun 1740
Masehi. Perayaan bulan purnama pada pertengahan musim gugur di negeri Tiongkok
saat berkuasanya Dinasti Manchu.
Konon, purnama saat itu paling bulat dan keemasan. Para manusia
berkumpul dengan keluarga, bersama-sama makan kue bulan dan menikmati
pemandangan. Banyak legenda yang menyertai perayaan kue bulan itu, termasuk
legenda Dewi Chang-Er dan pemanah Hou Yi. Sang Dewi terbang ke bulan,
meninggalkan cintanya di dunia, lalu merasakan kesepian saat mengingat
hari-hari bahagia bersama Hou Yi.
Cinta berlalu bagai uap. Dua dunia menjadi penghalang. Namun,
festival itu tetap berlangsung meriah. Meski sudah berlalu berabad-abad,
festival itu tetap hidup seperti semua legenda yang menyertainya.
Kerajaan bulan juga sedang merayakan kecemerlangan bulan pada
pertengahan musim gugur ini. Sang gadis mulai merasa sumpek ketika tamu-tamu di
sana membuatnya jenuh dengan berbagai gunjingan mengenai dunia atas langit.
Lebih baik melihatnya dari bawah,
pikir gadis itu sebelum mengayunkan selendangnya dan terbang menuju bumi.
Sang gadis melayang rendah dari atas langit, berputar sejenak
sebelum mendarat di daerah sepi. Negeri Tiongkok mungkin tempat yang paling
indah untuk melihatnya. Bangunan-bangunan bergaya klasik dengan atap-atap
melengkung, ukiran-ukiran naga atau burung hong, lampion-lampion bercahaya
merah. Jembatan batu melingkar di atas Danau Xi Hu. Juga pegunungan dengan
pemandangan menakjubkan.
Dingin pertengahan musim membuat gadis itu menambahkan lapisan kain
lagi pada kemben yang dia kenakan. Merah jambu seperti bunga meihua. Dia juga
mengubah model pakaiannya menjadi pakaian gadis-gadis Manchuria. Gaun longgar
berkerah tinggi dan celana panjang menyembul dari belahan samping roknya.
Sebagai sentuhan akhir, dia mengepang rambutnya ke samping dan memberi hiasan
bunga-bunga. Dia tersenyum setelah merasa puas dengan penampilannya.
Mungkin seharusnya sang gadis pergi ke kerajaan yang akan
memperlihatkan kemegahan Dinasti Manchu. Namun alih-alih memasuki gerbang kota,
dia malah melangkahkan kaki melewati pasar malam, lalu pergi menuju sebuahrumah
kumuh di pinggiran kota.
“Kakak Nara datang! Kakak Nara datang!” Teriakan anak kecil berusia
enam tahun itu membangunkan penghuni rumah.
Ni Lan–seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun–keluar
sambil membetulkan sanggul dan baju sederhananya yang berwarna abu-abu.
“Kenapa kau kemari?” Ni Lan bertanya cemas. “Bunda Niwa akan sangat
marah kalau tahu.”
“Aku selalu tak peduli peraturan itu,” Nara–sang gadis bidadari
itu–tersenyum. Ia berkata riang, “Aku merindukanmu, Dinda. Aku membenci
peraturan yang membuatmu seperti ini.”
Ni Lan mendesah pelan. Jejak-jejak kecantikan sebagai bidadari
masih terlihat di wajahnya walau penuaan mulai terlihat dari beberapa kerutan.
“Dua dunia berbeda dan percintaan adalah sesuatu yang menentang alam, Kak
Nara.”
“Jadi, apakah cinta kalian itu sesuatu yang salah sehingga Bunda
membuangmu dari dunia atas langit? Memisahkan kalian dengan kematian? Hal ini
sungguh tidak adil!”
“Peraturan adalah peraturan, Kakak.” Ni Lan mengingat kesedihannya
saat melihat suaminya sakit dan meninggal. Dia juga akan mengalaminya. Takdir
sebagai manusia. Ni Lan telah memilih. Dalam sisa hidup yang bagai uap kepulan
napas itu, dia akan bertahan demi Qing Qing, anak perempuannya, buah kasihnya
dengan Cai Cheng.
Kebahagiaan itu begitu singkat. Ketika Ni Lan mencintai seorang
pelajar miskin, dia membuang keabadian untuk jatuh ke dunia. Sayangnya,
peraturan tetap peraturan. Cai Cheng akhirnya meninggal karena sakit. Ni Lan
melanjutkan hidup dalam kerja keras dan kemiskinan.
“Bisakah kau bertahan? Sekarang pun kau telah menderita seperti
ini. Dan kau harus menjalani penderitaan ini dalam tujuh kehidupan. Kau atau
Cai Cheng akan saling mencintai namun cinta itu akan terus diuji. Ujian di
tujuh kehidupan sebelum akhir yang bahagia.”
“Aku percaya aku akan bertahan, Kak Nara.”
Nara hampir menangis saat mengusap pipi Ni Lan dengan sayang. Dia
memilih tidak melanjutkan membuka luka lama Ni Lan. Nara tersenyum kepada Qing
Qing yang berdiri dekat Ni Lan.
“Siapa yang mau ikut dengan Kakak ke pasar malam?” Nara berkata
sambil menunduk ke arah Qing Qing yang kini tampak bergembira. Nara
mengangsurkan sekantong uang kepada Ni Lan, lalu menggandeng Qing Qing.
Beriringan mereka memasuki pasar malam. Anak-anak membeli gulali,
bermain, bergembira, dan tertawa. Qing Qing berlari menjauhi Nara. Dia begitu
bersemangat saat melihat stan yang menjual boneka kayu. Tanpa sengaja, kakinya
tersandung dan terjatuh. Sebuah tangisan kontan keluar dari mulut kecilnya.
“Hati-hati kalau jalan!” bentakan itu terdengar dari sesorang yang
baru ditabrak oleh Qing Qing.
Nara seketika membantu Qing Qing berdiri, lalu balas membentak
orang itu. Seorang laki-laki yang terlihat seperti orang asing. Jika saja
rambutnya tidak gelap, dia pasti terlihat aneh dengan warna hijau cokelat di
matanya.
“Qing Qing hanya anak kecil,” Nara menggeram. Dia melihat luka di
kening Qing Qing. Anak itu takut melihat darah. Dengan segera Nara tersenyum
menghibur Qing Qing. Dia bisa menyembuhkannya. Itu bukan luka besar.
“Tidak apa-apa,” kata Nara sambil mengusapkan tangannya ke kening
Qing Qing. Seberkas sinar lembut keluar dari sana, “Qing Qing anak yang kuat.
Lukamu akan sembuh. Lihatlah,” Nara mengusap luka itu dengan sapu tangan
sebelum luka itu benar-benar menghilang.
“Kau siapa?”
“Itu tidak penting,” Nara tidak memedulikan sang laki-laki asing.
Namun, Ni Lan terlihat takut hingga membungkuk meminta maaf.
“Mengapa kau minta maaf?” tanya Nara. “Anakmu tidak salah ....”
“Ssst!” Ni Lan menyenggol Nara hingga mengaduh.
Tanpa sengaja Nara memerhatikan pakaian laki-laki itu. Sutra kelas
tinggi, batu permata. Kaum hartawan yang pasti akan memberi Ni Lan masalah jika
Nara tak meminta maaf.
“Maafkan aku,” akhirnya Nara berkata enggan.
Laki-laki itu mencekal tangannya, “Kau belum mengatakan siapa kau.”
Sebuah senyum canggung terulas di bibir Nara, namun dia menjawab,
“Nareswari. Sudah kukatakan itu tidak penting. Kita tidak akan bertemu lagi.”
“Oh, ya?” manik kehijauan di mata laki-laki itu tampak menggelap.
Namun, Nara begitu saja mengabaikannya.
Nara menggendong Qing Qing di pinggangnya, menepuk-nepuk punggung
anak itu sambil bersenandung pelan.
“Bunga bunga akan gugur pada saatnya,
Namun hatiku akan tetap menjagamu.
Rembulan kadang hilang kadang purnama,
Namun kasih akan tetap abadi.”[]
Next : Seharusnya Aku
Tidak Menolongmu
Putu Felisia, 2013
Komentar
Posting Komentar