Assalamu’alaikum Readers J
Eh, ketemu lagi ama perempuan manis
Indonesia. Siapa lagi kalau bukan, UCI OTA ERIZA S. Okay, disini Ci akan
membagikan sebuah cerita pendek mengharukan. Mama Ci saja sampai menangis
karena membacanya. Tapi, apapun pekerjaan Mama, Ci selalu bangga. ;)
Check
this out >_<
IBUKU PEMBANTU
Kupandangi foto
berbingkai pink di atas meja belajarku yang reyot. Tampak dua gadis kecil di
dalam foto tersebut tersenyum manis. Lengan keduanya berangkulan. Mereka
terlihat sangat dekat, pipi mereka menempel satu sama lain.
Foto itu memperlihatkan kebahagiaan,
tapi aku membencinya. Salah satu gadis di dalam foto itu membuatku malu hari
ini. Dengan kasar aku lempar foto itu ke atas meja. Brak! Kutelungkupkan kepala
di atas lengan kananku yang terlipat. Bahuku berguncang dan lengan kananku
basah oleh air mata.
Ketika jam istirahat, aku dan Vanya
seperti biasa mengunjungi kantin. Aku memesan semangkuk bakso dan Vanya memilih
siomay. Kami menikmati hidangan sambil mengobrol. Andi dan Sahnaz mendatangi
kami dan ikut mengobrol. Mereka adalah kawan sekelas kami.
“Kalian nanti mau ajak siapa, Ayah
atau Ibu?” tanya Sahnaz kepada kami bertiga tentang Hari Orangtua. Ini adalah
program sekolah untuk menghadirkan orangtua kami masing-masing dan
memperkenalkan profesi yang digelutinya kepada kami.
“Aku sih bawa Mama saja. Dia kan
buka usaha katering di rumah, jadi kemungkinan bisa hadir lebih banyak
ketimbang Papa yang kerja kantoran,” kata Andi.
“Aku juga. Mamaku kan punya butik
jadi gampang saja kalau hanya tidak masuk satu hari,” ujar Vanya.
“Kalau aku akan ajak ayah. Ibuku PNS
jadinya ribet kalau harus izin sebentar. Sementara ayahku kan pegawai
pemasaran, jadi dia bisa atur waktunya dengan mudah,” sahut Sahnaz.
Aku diam. Tiga pasang mata kawanku
lalu beralih padaku. “Kamu mau ajak siapa, Mi?” tanya Andi.
Aku masih diam. Lalu menggeleng.
“Aku masih bingung nih,” kataku.
“Kenapa? Memangnya ayah ibumu nggak
bisa ya?” tanya Sahnaz.
“Entahlah,” jawabku.
“Kamu bingung ya, apa mereka
diizinkan sama Mama dan Papaku?” tanya Vanya.
“Lho, memangnya mereka kerja di
rumah kamu?” sahut Andi.
“Iya. Ayah Rahmi ini sopir Papa.
Kalau ibu Rahmi, pembantu rumah tangga di rumahku,” jawab Vanya.
“Oh ...” kata Andi dan Sahnaz
serempak. Lalu mereka terdiam.
Aku menunduk. Malu. Aku memang anak
pembantu. Ibuku sudah mengabdi di rumah Pak Aryo Widodo, papanya Vanya sejak
masih gadis, sedangkan ayahku menjadi sopir Pak Aryo sejak lima bulan lalu.
Tepatnya semenjak Ayah terkena PHK. Pak Aryo menawarkan pekerjaan itu melalui
Ibu. Pak Supri, sopir Pak Aryo sebelumnya berhenti karena sudah tua sehingga
sering merasa lelah.
Selama ini aku menyembunyikan
identitas kedua orangtuaku. Aku malu jika mereka mengejek begitu tahu aku anak
pembantu. Tapi program sekolah itu mengacaukannya. Kenapa program itu tidak diadakan
ketika Ayah masih menjadi pegawai kantoran? Kalau begitu kan aku bisa membawa
Ayah, bukan Ibu. Tapi sekarang, siapa yang bisa aku bawa? Kalau membawa Ayah,
mereka pasti mengejekku karena hampir seluruh temanku memiliki sopir pribadi.
Apalagi kalau bawa Ibu. Bisa-bisa aku direndahkan.
Vamya lagi. Kenapa dia harus
mengatakan ayah ibuku pembantu di rumahnya di depan teman-teman? Sekarang pasti
semua temanku sudah tahu. Besok, sudah pasti aku akan diejek. Aku tak akan
pernah punya teman lagi.
Sebenarnya Vanya selama ini baik
padaku. Kami tumbuh besar bersama. Ibuku bahkan tak pulang kampung ketika akan
melahirkanku. Ibu Sinta, mamanya Vanya, menginginkan Ibu melahirkan di Jakarta
bersamaan dengannya. Ibu Sinta ingin belajar mengasuh bayi pada ibuku, meski ia
pernah memiliki anak sebelumnya yaitu Mas Rio, kakak Vanya yang kini sudah
duduk di bangku SMA. Kami memang lahir dalam jarak yang tak berjauhan, hanya
terpaut satu bulan. Vanya lalu aku.
Ibu Sinta, Pak Aryo, Mas Rio, Vanya,
semuanya baik kepadaku. Meskipun aku anak pembantu, mereka memperlakukan aku
seperti keluarga sendiri. Aku tak pernah dibedakan dengan Vanya. Jika ia
dibelikan baju baru, aku pun begitu. Ketika Pak Aryo pulang berdinas dari luar
kota atau luar negeri, aku tak pernah dilupakannya. Aku selalu mendapatkan
oleh-oleh.
“Rahmi, kamu kenapa?” tanya Ibu yang
baru saja masuk ke kamar.
Aku segera menghapus air mata dengan
kedua telapak tanganku. Aku menunduk memandang meja.
“Nggak apa-apa, Bu,” jawabku.
Ibu meoleh ke arah meja. Keningnya
berkerut ketika melihat foto aku dan Vanya tertelungkup di atas meja.
“Kamu marahan ya sama Vanya?” tanya
Ibu. Aku diam lagi.
“Kok
dari tadi kamu nggak ke luar kamar? Vanya tadi menanyakan kamu. Ibu pikir
kalian sedang bermain. Makanya begitu Vanya tanya soal kamu, Ibu jadi merasa
ada yang aneh,” sahut Ibu.
Aku
bingung bagaimana memulainya. Aku takut Ibu sakit hati kalau akuberterus
terang. Jadi aku diam saja. Karena melihatku diam, Ibu duduk di atas tempat
tidur lalu mengelus kepalaku yang sedang tertunduk.
“Kamu
marah karena masalah Hari Orangtua, ya?” tanya Ibu.
Aku
terkejut. Kudongakkan kepala dan kupandangi wajah Ibu. Waduh, gawat kalau Ibu
sudah tahu. Pasti gara-gara Vanya!
“Tadi
Ibu dengar Vanya membicarakan Hari Orangtua dengan Bu Sinta. Dia juga
memintakan izin untuk Ibu atau Ayah, supaya mendatangi sekolahmu besok,” kata
Ibu.
Aku
tak percaya. Vanya sudah lancang seperti itu. Seharusnya kan dia
membicarakannya padaku dulu sebelum minta izin kepada Bu Sinta.
“Kamu
malu ya kalau Ibu dan Ayah hadir?” tanya Ibu. Aku masih diam.
“Kamu
ingin Ibu Sinta atau Pak Aryo yang menghadirinya untuk kamu?” Aku menunduk
lagi. Air mataku berjatuhan ke atas pangkuan.
“Kalau
kamu malu, Ibu dan Ayah tak akan hadir. Bilang saja kami sibuk sehingga tidak
bisa hadir. Tidak akan mempengauhi nilai kamu kan, Nak?”
Tiba-tiba
pintu kamar kembali terbuka. Kulihat Vanya berdiri di sana. Aku marah dan
kupalingkan mukaku darinya.
“Jangan,
Bu Laksmi. Ibu harus datang. Rahmi tidak boleh malu,” kata Vanya.
“Apa
mentang-mentang kamu anak majikan jadinya kamu menyuruh-nyuruh ibuku seperti
itu?”
“Bukan
begitu, Mi. Aku malah akan bangga kalau membawa Ibu Laksmi ke sekolah. Dia rela
mengorbankan dirinya untuk keluarga. Dia rela tidak melanjutkan sekolah dan
menjadi pembantu rumah tangga demi membiayai adiknya di kampung. Pamanmu bisa
lulus SMA karena jasa ibumu, Mi. Ibumu juga berjasa penuh pada kami sekeluarga.
Sejak masih gadis sampai punya anak sebesar kamu, ibumu masih setia pada kami.
Kalian sudah seperti keluarga. Bahkan Mama sangat bergantung pada ibumu,” papar
Vanya.
“Halah
... kamu pasti akan mempermalukan aku dan ibuku kan, seperti halnya kamu
mempermalukan aku di depan Sahnaz dan Andi,” kataku.
“Soal
itu aku minta maaf. Aku sudah lancang mengatakannya sebelum meminta izin padamu.
Aku benar-benar tidak bermaksud mengolok-olok kamu. Memang aku salah membuka
profesi orangtuamu di depan mereka, padahal seharusnya kamulah yang berhak
mengatakannya.”
Aku
diam.
“Percayalah
Mi, aku mengatakan yang sebenarnya. Permisi,” katanya sambil menutup pintu.
Ibu
masih saja mengelus kepalaku. Kemudian ia mendekapku ke dalam dadanya.
Kutumpahkan semua rasa yang kutanggung dalam hati. Baju Ibu basah dengan air
mataku.
Usai
makan malam, aku kembali ke kamar. Aku merenungi kata-kata Vanya. Benar juga.
Selama ini aku memandang rendah ibu dan ayahku sendiri. Aku terbawa cara
pandang orang lain terhadap profesi pembantu rumah tangga dan sopir. Cara
pandang seperti inilah yang aku gunakan setiap kali aku bergaul dengan
teman-teman sehingga aku merasa kecil.
Ibu
memang perempuan tangguh. Ia berangkat ke Jakarta seusai lulus SMP. Ibu menjadi
pembantu rumah tangga untuk membiayai nenek dan dua pamanku di kampung. Kakek
meninggal ketika Ibu mengikuti Ebtanas (kalau sekarang UN) SMP. Nenek hanyalah
buruh tani, tapi menginginkan anaknya sekolah.
Ibu
bekerja keras mengumpulkan uang untuk bisa membiayai sekolah Paman. Ia
berhasil. Kedua pamanku ia biayai sampai lulus SMA. Paman Sakti mengikuti Ibu
hijrah ke Jakarta selepas SMK dan sekarang bekerja di pabrik sepatu di
Cikarang, sedangkan Paman Yoga mendapat beasiswa S1 di Yogyakarta.
Ayah
juga tak kalah hebatnya. Meski di PHK karena perusahaan bangkrut, ia tidak
patah semangat. Menjadi sopir pribadi adalah pilihanyya. Ia masih bersyukur
bisa mendapatkan pekerjaan yang halal daripada harus menganggur dan menjadi
beban Ibu, atau malah jadi pencuri. Malahan sejak jadi sopir, kami bisa
berkumpul bersama di rumah Vanya. Tidak seperti waktu Ayah menjadi pegawai di
Bogor, kami hanya bisa bertemu satu kali dalam sepekan.
Hari
ini Hari Orangtua. Aku bangga ketika ibuku berdiri di depan kelas dan berbicara
tentang profesinya. Kulihat teman-temanku ada yang mengernyitkan dahi, bersikap
tak peduli, tapi tak sedikit yang malah mendengarkan dengan seksama.
“Menjadi
pembantu rumah tangga bukan pilihan utama. Tapi inilah yang harus saya lakukan
untuk bisa menghidupi keluarga. Tidak mudah menjadi pembantu rumah tangga.
Makanya saya berupaya agar anak saya, Rahmi, bisa sekolah setinggi-tingginya.
Agar ia bisa menjadi apa pun yang ia inginkan. Saya tidak punya harta untuk
diwariskan. Tapi saya akan terus berusaha mencari uang supaya dia bisa jalan
untuk meraih cita-citanya dengan menuntut ilmu. Ilmu itulah yang akan menjadi
harta yang besar baginya. Belajar yang semangat ya, Nak,” kata Ibu di depan
kawan-kawan dan orangtua murid.
Aku
tak bisa melihat Ibu dengan jelas. Pandanganku kabur dengan luapan air mataku.
Aku bertepuk tangan sekencang-kencangnya. Kudengar yang lain pun ikut
melakukannya. Aku bangga pada ibuku. Aku juga bangga pada ayahku. Kupeluk Ibu
yang baru saja mendatangi tempat dudukku.
“Aku
sayang Ibu. Terima kasih,” kataku.
Di
lamar, aku merapikan diri. Kusisir rambutku dan kukuncir kuda. Lalu aku
mengambil gelang di atas meja. Tanganku mengambil foto yang tertelungkup. Kuambil
dan kuelus dua gambar di dalamnya. Aku tersenyum. Kurapikan meja dan kupajang
kembali foto itu di atasnya.
“Mi,
lama amat sih! Ayo dong!” teriak Vanya dari halaman. Vanya sahabatku sudah
menungguku untuk bermain sepesa di luar. Aku berlari ke luar kamar
mengerjarnya.
Jakarta, Mei
2009
Karya : Rima
Ria Lestari
=== TAMAT
===
Wuahhh :D Bagaimana perasaan Anda? Hmhmhm...
Ada yang menangis ya? Ambil tisu sono gih :P
Enjoy read terus ya di blog Ci. Jangan lupa like and comment,
please ;)
See you later, Readers J
Komentar
Posting Komentar